Contoh Beberapa Pengaruh Budaya Tionghoa di Indonesia
Berdasarkan catatan sejarah, hubungan dagang antara Cina dengan Nusantara telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak abad ke 5 Masehi. Hubungan tersebut ditopang pula oleh jalur-jalur pelayaran yang telah dikenali oleh orang-orang Cina untuk sampai dan singgah di kepulauan Nusantara Peningkatan aktivitas di bidang perdagangan dan pelayaran di daerah kepulauan Nusantara, mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya tempat atau pos-pos pedagang Cina yang kemudian menjadi pemukiman-pemukiman khusus orang Cina (pecinan) di sejumlah daerah di kepulauan Nusantara. Akibat lebih lanjut, sudah tentu terjadi interaksi sosial budaya antara orang (pedagang) Cina dengan orang setempat (pribumi). Orang-orang Cina total dijumpai keberadaannya diseluruh Jawa dan Madura sejak masa lampau. Mereka bermukim di kota-kota pelabuhan di daerah pesisir atau muara-muara sungai besar yang menjadi pasat perdagangan dan sarana transportasi yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman. Pilihan lokasi atau tempat tinggal orang Cina di suatu kota, mungkin tampaknya berkaitan dengan kegiatan usaha di sektor perdagangan. Keberadaan orang Cina di daerah pesisir ditandai pula dengan hadirnya pemukiman Cina (Pecinan). Beberapa pengaruh budaya Cina (Tionghoa) di Indonesia bisa kita jumpai sampai saat ini, di bawah ini ada banyak istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa. Istilah-istilah dalam dialek Hokkian selatan itu saya letakkan di dalam kurung dan ditulis sesuai lafal aslinya menurut kamus, antara lain adalah kata ganti diri gua, bahasa gaul sekarang ini (goa) 'saya', dan lu (lu) 'kamu', kata bilangan sederhana: gotun (gou-tun), ' lima perak (rupiah)', captun (cap-tun) 'sepuluh rupiah', cepeh (cit-peh), 'seratus', gopeh (gou-peh) 'lima ratus', ceceng (cit-cheng), 'seribu (rupiah),' goceng (gou-cheng), lima ribu', ceban (cit-ban) 'sepuluh ribu', cetiau (cit-tiau) 'sejuta', liangsim (liang-sim), 'hati nurani' atau 'isi perut', cabo (ca-bou) 'wanita pekerja seks', sue (soe), 'sial atau naas', sue'an 'sialan', dan masih banyak lagi.
Untuk memasak di dapur ada langseng, istilah orang betawi (lang-sng) 'dandang', anglo (hang-lou) 'perapian dengan arang'. Meja bisa dibersihkan dengan topo’ (toh-pou) 'lap meja', bisa juga pakai kemoceng (ke-mo-cheng) 'bulu ayam' untuk menghilangkan debunya. Lantas tesi (te-si) 'sendok teh' tentunya untuk menyendok. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah disapu ada pengki (pun-ki). Di tempat-tempat becek orang suka memakai bakiak (bak-kiah) yang tahan air. Di bidang makanan ada kecap (ke-ciap), Manisan tangkue (tang-koa atau tang-koe) 'beligo' atau 'kundur', Mie (mi), bihun (bi-hun), tahu (tau-hu), toge (tau-ge), tauco (tau-cioun), kucai (ku-chai), lokio (lou-kio), juhi (jiu-hi), ebi (he-bi), dan tepung hunkwee (hun-koe). Selain itu kue mangkok (hoat-koe), kue ku (ang-ku-koe), kue sengkulun (sang-ko-lun), lumpia (lun-pian). Dalam hal pakaian kita mengenal baju ‘Koko’ yang biasanya sering digunakan untuk menyebut pakaian yang di gunakan untuk pergi ke masjid kaum laki-laki. Memang dari segi bentuk dan desain mirip dengan baju khas Cina yang dipakai oleh orang laki-laki.
Demikianlah bahasan singkat saya tentang berbagai pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya kita yang berhasil saya telusuri. Pengaruh yang sebenarnya juga berlaku timbal balik antara kedua etnik tersebut. Pengaruh yang mencerminkan kebhinnekaan yang sesungguhnya dalam budaya bangsa kita ini. (YP)