Secara umum, penyelenggaraan pemerintahan Singhasari tidak terlalu cemerlang. Diketahui bahwa periode kerajaan Singhasari memiliki jangka waktu terpendek dari kerajaan besar lainnya di Jawa. Selain itu, prasasti berangka tahun yang dikeluarkan oleh Singhasari terhitung sedikit, hanya 8 buah. Pada periode tersebut juga terjadi penurunan produktivitas karya seni, termasuk seni sastra jika dibandingkan dengan kerajaan sebelum dan sesudahnya. Entah karena kurangnya kreativitas dan kualitas seni budaya atau rendahnya peran pemerintah tentang hal tersebut, yang jelas penyebab yang kuat adalah konflik internal antara keturunan Ken Arok dengan keturunan Tunggul Ametung yang berlarut-larut. Hal itu membuat pemerintah Singhasari lebih fokus ke masalah itu dan seolah-olah melupakan kepentingan yang lain.
Secara khusus, pemerintahan setiap raja memiliki track record, prestasi, dan ‘gaya’ tersendiri dalam memerintah. Contohnya, terdapat raja yang menjunjung nilai seni budaya di Singhasari, ada raja yang baru seumur jagung memerintah sudah ‘turun tahta’, dan ada pula raja yang berhasil menyelesaikan konflik internal Singhasari. Selain itu tujuan dan program tiap-tiap raja berbeda agar Singhasari mampu menjadi kerajaan yang besar di pulau Jawa.
Pada saat pemerintahan Ken Arok, dalam Kitab Pararaton diceritakan bahwa setelah Ken Arok menjadi raja, negeri menjadi makmur dan aman. Rakyat hidup tenteram, tidak pernah terjadi kekacauan dan kejahatan. Ken Arok dianggap sebagai raja yang mendukung kreativitas seni dan budaya di Singhasari. Hal ini dibuktikan dengan munculnya seni yang berupa karya sastra. Empu Tanakung adalah seorang pujangga Singhasari. dia mengarang Kitab Wrettasancaya dan Lubdaka. Dua karya tersebut dipersembahkan untuk Ken Arok, namun karya seni tersebut tidak begitu dikenal dan cenderung jarang disebut. Hal itu diakibatkan karena Ken Arok terlalu disibukkan dengan konflik keluarga kerajaan serta masalah politik sehingga perhatian ke seni budaya kurang penuh dan terkesan ‘setengah hati’. Selain itu, belum kokohnya pemerintahan dan negara sehingga butuh perhatian lebih. Pemerintahan Ken Arok berlangsung hanya selama 5 tahun, terlalu sebentar untuk seorang raja besar dan pendiri kerajaan. Kekuasaan Ken Arok pada tahun 1227 M berakhir setelah Anusapati, anak dari Tunggul Ametung dengan Ken Dedes membunuhnya dan kemudian mengambil tahta Kerajaan Singhasari.
Anusapati dinobatkan sebagai Raja Singhasari tahun 1227 M. Nama Anusapati sendiri berarti membela nusa/negeri sampai titik darah penghabisan agar terhindar dari berbagai macam gangguan. Periode pemerintahannya terhitung lama, yaitu 21 tahun. Anusapati meneruskan kepemimpinan Ken Arok dengan memperbaiki beberapa aspek yang dinilai kurang bagus dan melakukan berbagai upaya dalam menstabilkan keadaan intern kerajaan, salah satunya dengan melakukan rekonsiliasi /mendamaikan pihak-pihak yang saling bertikai. Masalah yang dihadapi pemerintahan Anusapati cukup berat, yang peling berat adalah konflik antara keturunan Ken Arok-Ken Dedes dengan Tunggul Ametung-Ken Dedes. Namun usaha yang dilakukan oleh Anusapati tidak berhasil, ditambah lagi muncul satu keturunan yang berasal dari hubungan Ken Arok dengan Ken Umang, yaitu Tohjaya. Semakin sulitlah usaha rekonsiliasi yang dilakukan oleh Anusapati karena muncul ‘pihak ketiga’. Dalam kasus tersebut, sebenarnya rekonsilisasi merupakan upaya yang efektif dalam menyelesaikan masalah konflik, namun jika pihak lain yang dapat ‘merusak’ proses pendamaian, maka percuma saja dengan apa yang telah dilakukan oleh Anusapati. Selain itu, Tohjaya sendiri memiliki dendam dengan Anusapati karena Anusapati telah membunuh ayahnya. Saat Anusapati sedang asyik berjudi di arena sabung ayam, Tohjaya dengan cepat dan tersembunyi membunuhnya. Anusapati meninggal tahun 1248 M dan pada tahun yang sama, Tohjaya dinobatkan sebagai Raja Singhasari.
Selama memerintah, Tohjaya ingin agar Singhasari mencapai kejayaan tanpa ada gangguan dari luar maupun dalam. Sesuai dengan nama Tohjaya yang berarti cita-cita yang selalu jaya. Namun cita-cita yang dimiliki Tohjaya tidak tercapai karena pemerintahannya hanya berlangsung beberapa bulan saja. Hal tersebut terjadi karena Tohjaya diserang oleh pasukan yang dipimpin oleh 2 Ksatria Singhasari Ranggawuni dan Mahisa Campaka. 2 orang tersebut adalah ‘buronan’ Tohjaya dan jika mereka tidak disingkirkan maka kedudukan Tohjaya sebagai Raja Singhasari terancam. Setelah bertempur sengit, Tohjaya kalah dan terluka parah, Tohjaya kemudian melarikan diri ke daerah Katanglumbang. Dalam perjalanan menuju Katanglumbang, Tohjaya akhirnya meninggal karena luka yang dialaminya sangat parah. Dalam sejarah raja-raja singhasari, Tohjaya adalah raja yang berkuasa paling singkat. Jika tidak tejadi peristiwa pembunuhan tersebut, Tohjaya dapat berkuasa lebih lama dan bisa mewujudkan cita-citanya untuk Singhasari.
Setelah Tohjaya dipastikan meninggal, tahun 1248 M Ranggawuni diangkat menjadi Raja Singhasari. Ranggawuni adalah anak dari Tunggul Ametung - Ken Dedes. Ranggawuni memiliki gelar Wishnuwardhana yang berarti kemurahan dewa Wishnu. Memang pada jaman pemerintahannya, Singhasari dalam keadaan aman, tenteram, subur dan makmur bagaikan mendapat anugerah dari dewa Wishnu. Tidak hanya sampai itu, Ranggawuni merupakan raja yang terhitung sebagai raja telah menyelesaikan maslah yang sudah terjadi sejak Singhasari didirikan, ia berhasil menyatukan dua keluarga Singhasari, yaitu keluarga dari Ken Arok dengan keluarga Tunggul Ametung. Hal tersebut diwujudkan dengan diangkatnya Mahisa Campaka, anak dari Ken Arok - Ken Dedes menjadi Ratu Hanggabaya yang bergelar Batara Narasinga. Dengan begitu, tidak ada lagi saling balas dendam antarkeluarga. Mereka berdua secara berdampingan dan solid menjalankan pemerintahan Singhasari, diceritakan keduanya diibaratkan sebagai Wishnu dan Indra. Duet pemerintahan mereka pun berlangsung cukup lama dan tanpa adanya perselisihan diantara mereka. Pada tahun 1254, Wishnuwardhana menobatkan anaknya, Kertanegara sebagai raja, tetapi ia tetap memerintah dan belum turun tahta. Hal ini mengindikasikan bahwa wishnuwardhana mempersiapkan calon penerusnya secara baik dan matang, sehingga tahta Singhasari tidak menjadi ‘rebutan’ dan memicu konflik internal lagi. Akhirnya pada tahun 1266 M Ranggawuni meninggal dunia. dan tahta kerajaan jatuh ke tangan anaknya, Kertanegara.
Kertanegara naik tahta Singhasari dan bergelar sang Siwa Buddha. Nama Kertanagara sendiri berarti keadaan negara yang makmur dan tenteram, dan memang benar, pada saat pemerintahannya, Singhasari mengalami masa kejayaan. Menurut Pararaton, ia adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik tahta secara damai, karena ia telah dinobatkan oleh ayahnya, Wishnuwardhana sebelum turun tahta.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Kertanegara dibantu oleh 3 orang mahamantri, mereka adalah: Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu. Mereka meneruskan dan mengatur perintah raja melalui menteri pelaksana, yaitu: Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan.
Dalam bidang keagamaan, Krtanegara memperbolehkan 2 agama yang ada dianut di Singhasari, yaitu Hindu dan Buddha. Krtanegara juga mengangkat seorang Dharmadhyaksa ri Kasogatan untuk menjadi kepala agama Buddha dan seorang pendeta pendamping raja, Mahabrahmana yang berpangkat Cangkhadhara. Karena kebijakan diatas, gelar Siwa Buddha (Siwa=>Hindu, Buddha=>Buddhis) diberikan kepada Kertanegara.
Kertanegara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara dan menyatukannya agar sulit dikuasai oleh bangsa luar. Untuk mewujudkan ambisinya, Kertanegara melakukan ‘pembersihan’ dengan menyingkirkan para tokoh yang dianggap menentang atau menjadi penghalang Kertanegara dalam mewujudkan misinya, diantaranya adalah Kebo Arema dan Kebo Tengah, merekan adalah patih di Singhasari.
Selain melakukan langkah intern, Kertanegara juga melakukan langkah ekstern, yaitu ekspedisi Pamalayu, tujuannya untuk ‘menaklukan’ kerajaan-kerajaan di Sumatra sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik yang stategis. Selain selain untuk memperkuat pengaruhnya, ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang serangan Mongol ke Nusantara. Pada tahun 1286 Melayu berhasil ditundukkan, lalu pada tahun 1284 Kertanagara juga berhasil menaklukkan Bali dan membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari. Krtanagara juga dikenal sebagai raja yang menjunjung tinggi martabat negerinya, pada tahun 1289 datang utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Kertanagara tunduk kepada kekuasaan Mongol dan menyerahkan upeti setiap tahunnya. Kertanagara menolak permintaan itu, bahkan melukai wajah Meng Khi dan mengusirnya.
Saat pemerintahannya sedang jaya, muncul pemberontakan dari Kediri yang dipimpin oleh Jayakatwang di daerah utara. Kertanagara mengutus Raden Wijaya, menantunya untuk menghadang pasukan yang datang dari utara. Namun Kertanagara tidak megetahui bahwa Jayakatwang telah mempersiapkan pasukan lain yang datang dari selatan. Meskipun Raden Wijaya berhasil mengalahkan pasukan dari utara, Singhasari berhasil dihancurkan dan Kertanagara dibunuh oleh pasukan selatan tahun 1292. Saat itu pula berakhirlah riwayat kerajaan Singhasari.
sumber :
Mangkudimedja, R.M. 1979. Serat Pararaton Ken Arok 2. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud.
Poesponegoro, Maryati Djoned. 1992. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Purwadi. 2007. Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Medan: Pujakesuma
Rahardjo, Supratikno. 2011/2002. Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit. Jakarta: Komunitas Bambu.
Suryana, H. Moh. dan Anwar Kurnia. 2004. Kronik Sejarah untk kelas 1 SMP. Jakarta: Yudhistira